- MALAYSIA
Malaysia tidak memiliki undang-undang atau peraturan tersendiri mengenai kegiatan yang diharuskan menggunakan EIA dalam upaya mencegah pengrusakan atau penurunan kualitas lingkungan dan ekosistemnya. Ketentuan untuk menggunakan EIA diatur dalam Environmental Quality (Prescribed Activities) tahun 1987 dan mulai berlaku pada 1 April 1988.[1]
Alasan tidak diaturnya EIA dalam Undang-undang atau peraturan tersendiri adalah karena EIA sebenarnya adalah upaya pencegahan dan suatu suplemen untuk perencanaan lingkungan terhadap proyek-proyek baru atau perluasan dari proyek yang telah ada. Ia dirancang berdasarkan pada bukti dan prakiraan dampak penting terhadap lingkungan dari suatu kegiatan yang direncanakan.
Meskipun EIA tidak diatur dalam undang-undang atau peraturan tersendiri, pelanggaran terhadap ketentuannya bisa diajukan ke pengadilan dan dapat dijatuhi sanksi yang berat. Pelaksanaan secara serius telah membuat EIA berhasil dilaksanakan di Malaysia. Sebagai contoh, lebih dari 379 laporan EIA telah diterima oleh DOE, dan 10 diantaranya dinyatakan melanggar ketentuan EIA dan telah diajukan ke pengadilan.[3]
Mengingat lingkungan dan ekonomi begitu erat berkaitan, maka dirasakan keperluan untuk memasukkan lingkungan dalam National Accounting Procedure. Hal tersebut adalah karena nilai sumber daya alam dan dimensi biaya dan manfaat lingkungan dari proses pembangunan dapat dinilai dan dimasukkan ke dalam pengambilan keputusan ekonomi melalui Natural Resource Accounting Procedure.
Berdekatan dengan National Resource Accounting dan Environmental Impact Assesment (EIA) adalah Environmental Audit (EA) Procedure. Apabila EIA diterapkan pada proyek-proyek baru, EA diterapkan pada semua proyek yang berjalan.
- PHILIPINA
Peraturan perundang-undangan di Philipina dapat dibagi dalam tiga kategori yaitu peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya alam, peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian dan pencegahan pencemaran serta pertauran perundang-undangan di bidang pencegahan bencana alam. Pada tanggal 21 September 1972 Presiden Marcos telah mengumumkan keadaan darurat (martial law) di Philipina. Dalam keadaan darurat ini Presiden diberi kekuasaan legislatif dalam bentuk dekrit.
Dekrit yang penting mengenai kebijaksanaan dan pembangunan adalah Presidensial Decree yang selanjutnya disingkat P.D. No. 1151 dan P.D. No.1152. P.D. 1151 menyatakan bahwa adalah merupakan kebijaksanaan negara di bidang lingkungan hidup untuk menumbuhkan, mengembangkan dan memperbaiki keadaan agar manusia dan alam dapat berjalan bersama-sama dalam keserasian yang produktif dan menyenangkan. P.D ini mengharuskan kepada proyek-proyek pembangunan untuk membuat analisis mengenai dampak lingkungannya. P.D 1152 tentang Philippine Environment Code yang diundangkan pada tanggal 6 Juni 1977 bertujuan untuk mengarahkan kegiatan-kegiatan dan program-program di bidang pengelolaan lingkungan dengan penetapan kebijaksanaan pengelolaan serta penetapan baku mutu lingkungan. Kode ini menangani lingkungan hidup dalam keseluruhannya (in its totality), tidak secara fragmentaris.
Selanjutnya PD 1586 menetapkan bahwa seluruh perwakilan dan instrumen-instrumen pemerintah termasuk badan usaha milik negara, badan hukum perdata, firma dan bentuk usaha lainnya yang mempunyai dampak signifikan terhadap lingkungan, untuk menyiapkan pernyataan dampak lingkungan sebagimana tercantum pada bagian empat.
PD 1586 merupakan ketetapan yang lebih baik jika dibandingkan dengan legislasi EIA sebelumnya, khususnya PD 1121. dalam PD 1121, kewajiban untuk menyiapkan EIA dibatasi hanya pada proyek-proyek pemerintah. Pada tahun 1981, Presiden Philipina mengeluarkan Proklamasi 2146 yang mengidentifikasi tiga jenis kegiatan yang berdampak terhadap lingkungan. Berdasarkan Proklamasi 2146, kegiatan-kegiatan yang tergolong ke dalam kegiatan yang berdampak terhadap lingkungan, yaitu:
- industri berat
- industri ekstraktif sumber daya
- proyek-proyek infrastruktur
Jika suatu industri tidak tercantum dalam kategori proklamasi 2146, maka proyek tersebut dianggap tidak berdampak terhadap lingkungan. Jadi, tidak diwajibkan untuk menyiapkan EIA. Tetapi, kapanpun diperlukan, seperti suatu industri yang disyaratkan untuk menyediakan upaya perlindungan lingkungan tambahan.
Terdapat dua badan yang bertanggung jawab dalam proses administrasi EIA, yaitu, Ministry of Human Settlement dan National Environmental Protection Council (NEPC) yang sekarang dinamakan Biro Manajemen Lingkungan yang berada di bawah Departemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Ministry of Human Settlement memiliki kewenangan untuk melakukan penyususnan konsep dampak lingkungan yang dibutuhkan dalam pelaporan kegiatan-kegiatan yang berdampak terhadap lingkungan dan wilayah, sementara itu EMB bertanggung jawab dalam mengkaji ulang dan evaluasi EIA. Pelaksanaan sistem EIA dalam kawasan dilaksanakan oleh Kantor Regional DENR.
Selain itu juga EMB yang berfungsi dalam hal:
- mengadakan rasionalisasi fungsi lembaga-lembaga pemerintah yang ditugaskan untuk melindungi linkungan hidup dan untuk menegakkan hukum yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
- Merumuskan kebijaksanan dan mengeluarkan pedoman guna penetapan baku mutu lingkungan dan analisis mengenai dampak lingkungan.
- Mengajukan rancangan peraturan perundang-undangan baru atau perubahan atas peraturan perundang-undangan yang ada.
- Menilai analisis mengenai dampak lingkungan dari proyek-proyek yang diajukan oleh lembaga-lembaga pemerintahan.
- Memonitor proyek-proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah.
- Mengadakan konperensi-konperensi mengenai masalah yang berkaitan dengan kepentingan lingkungan.
- SINGAPURA
Environment Impact Assesment (EIA) telah digunakan secara luas di seluruh penjuru dunia sebagai instrumen hukum administrasi untuk mencegah polusi dari berbagai kegiatan yang berpotensi besar menyebabkan degradasi atau polusi terhadap lingkungan. Mengejutkan, ternyata Singapura tidak mengatur EIA dalam hukum lingkungannya. Ia hanya berdasarkan pada suatu keputusan dari Master Plan Committee, yang diketuai oleh seorang Chief Planner.
Hal tersebut memperlihatkan kedudukan yang unik dari Singapura sebagai negara kota mengharuskan negara tersebut menemukan sistem pengelolaan lingkungan yang berbeda dari negara AsiaTenggara lainnya. Kendati demikian, Singapura merupakan negara yang menonjol karena keberhasilannya mencegah dan menanggulangi masalah pencemaran lingkungan hidup, baik melalui pendekatan ekonomis maupun yuridis dan mendapat julukan: “ The Garden City”.
DAFTAR PUSTAKA
Sukanda Husin, Draft Disertasi, Chapter V: The Existing Legal Framework And Institution in ASEAN Countries, hal. 246
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1999, hal 458.