Waduk Jatibarang (sumber : JejakPiknik.com) |
Pembangunan adalah usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan atau perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembangunan bangsa (nation building) (SP Siagian, 1973). Dalam setiap aktivitas pembangunan akan selalu ada trade-off. Di satu sisi
pembangunan mewujudkan pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain pembangunan bisa menurunkan kualitas lingkungan. Kerusakan lingkungan yang terjadi disebabkan oleh beberapa hal, yaitu pencemaran air dan tanah, bertambahnya konsentrasi gas rumah kaca (gas karbon dioksida, gas metan, dll), perubahan fungsi lahan, pengalihan DAS, dan sebagainya. Kerusakan tersebut tidak selalu menimbulkan dampak yang segera, namun akumulasinya bisa menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem, seperti terjadinya bencana alam dan perubahan iklim (climate change). Jika hal ini dibiarkan terus-menerus, maka kualitas lingkungan yang ada akan mengalami degradasi dan berdampak buruk bagi generasi selanjutnya.
Pelaksanaan pembangunan infrastruktur yang dijalankan di Indonesia mengacu pada konsep pembangunan untuk pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kurang memperhatikan aspek lingkungan. Padahal pembangunan ekonomi sangat tergantung pada keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Sebagai contoh dampak bencana banjir menyebabkan terhentinya aktivitas perekonomian yang menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Pertimbangan faktor lingkungan telah diatur sejak lama seperti dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 , dan UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, disebutkan bahwa salah satu misi pembangunan adalah mewujudkan Indonesia yang asri dan lestari, dan pembangunan infrastruktur akan mengarah pada konsep peningkatan pelayanan bagi peningkatan kualitas lingkungan di masa depan.
Proses pembangunan infrastruktur hendaknya memperhatikan tidak rusaknya lingkungan, dalam hal ini pembangunan waduk Jatibarang mempertimbangkan faktor lingkungan sehingga akan tetap menjaga kualitas lingkungan selain juga mengurangi dampak buruk yang terjadi. Singgungan terhadap faktor lingkungan sangat rentan terjadi, sehingga diperlukan dokumen dan kajian lingkungan berlanjut agar dapat menekan seminimal mungkin dampak besar dan negatif yang timbul karena pembangunan infrastruktur. Didasari oleh latar belakang itu, maka diperlukan suatu kajian tentang upaya-upaya yang didukung dengan kebijakan yang mampu menyelaraskan pembangunan infrastruktur dengan kebijakan lingkungan.
Berikut ini adalah beberapa pembahasan mengenai dampak adanya waduk Jatibarang
- Kondisi Ekosistem Sebelum Adanya Pembangunan
Kondisi ekosistem monyet ekor panjang Goa Kreo sebelum adanya pembangunan masih alami. Monyet ekor panjang masih liar sehingga takut kepada manusia. Pemenuhan kebutuhan makanan monyet monyet ekor panjang masih bergantung dengan alam, dan terdapat beberapa macam tanaman buah yang dijadikan sebagai makanan monyet ekor panjang, yaitu;
- Pohon Kesambi (Schleichera oleosa)
- Pohon Trenggulun (Protium javanicumbrum)
- Pohon Wuni (Antidesma bunius(L.)spreng.)
- Tanaman Ande-ande lumut ( Selaginella doederleinii hieron )
- Pohon Kelengkeng ( Dimocartus longan )
- Pohon Pisang ( Musa paradisiacal )
Tidak terlalu banyak perubahan ekosistem yang terjadi sampai pada tahun 1986.
- Kondisi Ekosistem Setelah Dikelola Dinas Pariwisata
Ekosistem Goa Kreo dikelola oleh Dinas Pariwisata pada tahun 1986 Goa Kreo mulai disahkan sebagai objek wisata pada tahun 1990. Mulai saat itu monyet yang masih liar dijinakkan oleh Dinas Pariwisata dengan cara membawa seekor monyet betina jinak dari kebun binatang, dan ternyata cara tersebut berhasil. Untuk mengundang monyet-monyet monyet ekor panjang dalam pemberian makan adalah dengan bersiul. Pemberian makan dilakukan setiap pagi dan sore dengan takaran makanan satu sak setiap harinya. Sehingga kemudian terjadi perubahan perilaku monyet dari mencari makanan menjadi menunggu pemberian makanan. Dampaknya mereka meninggalkan bahkan tidak mau memakan buah yang tersedia secara alami.
- Kondisi Ekosistem Setelah Pembangunan Bendungan Jatibarang
Pembangunan Bendungan Jatibarang memerlukan lahan yang luas sehingga membutuhkan pembebasan lahan pula. Selain pembangunan Bendungan Jatibarang, namun juga dijadikan sebagai tempat wisata guna membuat lahan-lahan lain untuk beberapa fasilitasnya seperti tempat parkir, tempat bermain, pembangunan toko, dll. Hal ini menambah lahan terbuka. Hal tersebut membutuhkan lahan terbuka yang luas dan banyak. Ini berarti penebangan pohon pun semakin meningkat, hal tersebut semakin mengurangi habitat tempat asal monyet ekor panjang yang ada. Akibatnya, banyak monyet yang semakin tidak terkendali tingkah dan perilakunya.Oleh karenanya, banyak terjadi penebangan pohon-pohon dilahan yang dulunya rimbun tersebut. Lahan punya warga pun ikut menjadi korban. Beberapa desa memilki Nilai Jual Objek Penjualan yang berbeda mulai 60 hingga 100, kemudian diambil rata-rata dan didapat nilai tengah 65. Beberapa masyarakat hanya mampu pasrah dan beberapa diantaranya masih meminta kenaikan.
Kini monyet-monyet tersebut semakin bersikap agresif kepada para pengunjung. Mereka tidak takut lagi. Malahan mereka akan mengeroyok mereka yang menyimpan makanan. Akibat pengeroyokan tersebut tidak jarang pengunjung menjadi korban. Tidak hanya pengunjung, pedagang pun sama, apabila mereka lengah sedikit dengan dagangannya maka monyet-monyet tersebut akan memanfaatkan waktu tersebut untuk mengambil jajanan yang diperjualkan.