Permasalahan pembangunan berkelanjutan sekarang telah merupakan komitmen
setiap orang, sadar atau tidak sadar, yang bergelut di bidang pembangunan.
Permasalahan pembangunan berkelanjutan juga tak dapat diabaikan dalam
perkembangan berbagai ilmu pengetahuan dan tekonologi,
Konsep pembangunan berkelanjutan diperkenalkan sebagai hasil debat antara
pendukung pembangunan dan pendukung lingkungan. Konsep pembangunan yang berkelanjutan
ini terus berkembang. Pada tahun 1987, Edward B. Barbier mengusulkan bahwa
pembangunan berkelanjutan harus dilihat sebagai interaksi antara tiga system :
sistem biologis dan sumber daya, sistem ekonomi dan sistem sosial. Selain itu,
dalam menjelaskan konsep pembangunan berkelanjutan ini, Budimanta membandingkan
perkembangan kota Jakarta dengan kota-kota lain di Asia, yaitu Bangkok,
Singapura, Tokyo yang memiliki kualitas pembangunan yang berkelanjutan yaitu
cara berpikir yang integrative, perspektif jangka panjang mempertimbangkan
keanekaragaman dan distribusi keadilan social ekonomi. (Arif Budimanta Dalam
Bunga Rampai, 2005: 375-377)
Kemiskinan serta kerusakan lingkungan hidup merupakan ancaman utama bagi
proses pembangunan berkelanjutan dengan melihat tujuan dari pembangunan
berkelanjutan yaitu mencapai masyarakat sejahtera (masyarakat berkelanjutan)
dalam lingkungan hidup yang berkelanjutan. (Madrim Djody Gondokusumo dalam
Bunga Rampai, 2005: 405)
Berikut dibahas mengenai tiga
masalah yang merupakan hambatan dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan
yaitu masalah kemiskinan, masalah kualitas lingkungan hidup dan
masalah keamanan dan ketertiban.
a.
Masalah Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu contoh ketidakadilan yang dialami suatu kelompok
(masyarakat pra sejahtera), dan terdapat di mana-mana, baik di Negara maju
maupun di Negara-negara yang sedang berkembang. Ketidakadilan itu terlihat dari
tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan mereka untuk bertahan hidup dalam
kesehatan yang baik, sulitnya mendapat akses ke pelayanan publik (sanitasi
sehat, air bersih, pengelolaan sampah ) rumah sehat, RTH, pelayanan pendidikan
dan sebagainya. Ketidakadilan juga terlihat dari tidak adanya akses kepemilikan
hak atas tanah yang mereka huni. Sebagai akibat itu semua, sulit bagi
mereka untuk mendapat akses ke pekerjaan yang baik dan stabil. Ketidakadilan
itu menyebabkan masyarakat miskin tetap miskin dan mengancam proses pembangunan
yang berkelanjutan. Kerusakan lingkungan, kondisi permukiman buruk atau kumuh
dalam suatu kawasan memperlihatkan bahwa kawasan tersebut sedang dalam proses
tidak berkelanjutan. (Madrim Djody Gondokusumo dalam Bunga Rampai, 2005: 410).
Krisis ekonomi yang menyebabkan naiknya harga kebutuhan bahan pokok telah
menimbulkan berbagai kerusuhan. Kerusuhan ini bahkan telah menembus sampai
kawasan pedesaan atau kawasan pinggiran kota. Hal ini disebabkan desa telah
kehilangan daya tahan menghadapi krisis. Kultur agraris yang menjadi basis
pertahanan ekonomi desa telah hilang maupun ditinggalkan, diganti dengan pola
modern yang tergantung pada industri. Dementara industry yang diharapkan mampu
menopang sektor pertanian, kondisinya sangat rentang dan keropos, karena
ketergantungannya pada bahan baku impor.
Kebijakan tegas untuk meninggalkan kultur agraris, karena ada pandangan
bahwa pola pertanian yang ada selama ini tidak memberikan nilai tambah,
sangatlah naif. Nilai tambah yang dimaksud dalam konteks tersebut adalah yang
bisa memberikan konstribusi devisa, bukan dalam pengertian mampu memberikan
daya hidup pada komunitas desa. Bahkan kecenderungannya adalah mengubah kawasan
pedesaan yang mampu mandiri berbasis pertanian keanekaragaman hayati, sebagai
ajang konversi, menjadi kawasan industri dan kawasan permukiman perkotaan.
Ketahanan kita akan kebutuhan bahan pokok sangatlah kurang, karena
investasi yang ada selama ini bukan untuk pembangunan industri yang berbasis
sumber daya alam hayati (agroindustry). Tempe, yang merupakan makanan Indonesia
sejak dahulu kala, ternyata kita belum mampu menjadi produsen bahan baku
kedelainya hingga kini. Kedelai hingga kini masih harus diimpor. Semuanya itu
disebabkan kita belum pernah mengadakan penelitian bioteknologi, yang dapat
mendukung pola agraris yang kita miliki agar efisien. Penelitian yang ada
selama ini bukan membumi, tetapi menuju ke langit. Untuk itu, dalam rangka
peningkatan ketahanan akan kebutuhan bahan pokok, diperlukan upaya pembangunan
daerah yang berbasis keanekaragaman hayati setempat.(Sugandi, 2007: 46-50)
Penelitian – penelitian terbaru menunjukkan bahwa kemiskinan tidaklah
statis. Orang miskin bukanlah orang yang pasif. Ia adalah manajer seperangkat
asset yang ada di seputar diri dan lingkungannya. Keadaan ini terjadi pada
orang yang miskin yang hidup di Negara yang tidak menerapkan sistem Negara
kesejahteraan (welfare state). Sistem yang dapat melindungi warganya menghadapi
kondisi-kondisi yang memburuk yang mampu ditangani oleh dirinya sendiri.
Kelangsungan hidup individu dalam situasi seringkali tergantung pada keluarga
yang secara bersama-sama dengan jaringan sosial membantu para anggotanya dengan
pemberian bantuan keuangan, tempat tinggal dan bantuan-bantuan mendesak
lainnya.
Pendekatan kemiskinan yang berkembang selama ini perlu dilengkapi dengan
konsep keberfungsian sosial yang lebih bermatra demorasi-sosial ketimbang
neo-liberalisme. Rebounding atau pelurusan kembali makna keberfungsian sosial
ini akan lebih memperjelas analisis mengenai bagaimana orang miskin mengatasi
kemiskinannya, serta bagaimana struktur rumah tangga, keluarga kekerabatan, dan
jaringan sosial mempengaruhi kehidupan orang miskin. Paradigma baru lebih
menekankan pada “apa yang dimiliki si miskin ” ketimbang ” apa yang tidak
dimiliki si miskin ”. (Suharto, 2005 : 148)
Pada akhirnya kebijakan pengurangan kemiskinan yang selama ini yaitu
pendekatan top-down dalam perencanaan kebijakan yang sekarang dilakukan, yaitu
pemerintah dan para pakar menganggap dirinya yang paling mengetehaui tentang
proses-proses yang terjadi dimasyarakat, perlu diganti dengan pendeketan bottom-up,
yaitu melibatkan partisipasi masyarakat melalui dialog-dialog yang
demokratis, menghargai perbedaan-perbedaan, keadilan dan kesetaraan jender.
Ilmu pengetahuan modern antroposentris sebagai dasar perencanaan kebijakan
publik untuk mengelola kehidupan masyarakat dan lingkungan perlu diganti dengan
ilmu pengetahuan yang bersifat non-antroposentris, menghargai etika dan
nilai-nilai yang ada di masyarakat dan di lingkungan alam. (Madrim Djody
Gondokusumo Dalam Bunga Rampai, 2005 : 418)
b.
Masalah Kualitas Lingkungan Hidup
Pembangunan pada hakikatnya adalah perubahan lingkungan, yaitu mengurangi
resiko lingkungan atau dan memperbesar manfaat lingkungan. Sejak berabad tahun
yang lalu nenek moyang kita telah merubah hutan menjadi daerah pemukiman dan pertanian.
Perubahan hutan menjadi sawah merupakan usaha untuk memanfaatkan lahan untuk
produksi bahan makanan dibawah kondisi curah hujan yang tinggi dan juga
untuk mengurangi resiko erosi di daerah pegunungan. Hingga sekarang pencetakan
sawah masih berjalan terus. Dengan perubahan hutan atau tata guna lahan lain
menjadi sawah berubahlah pula keseimbangan lingkungan.
Jadi jelaslah keserasian bukanlah suatu hal yang kekal, melainkan
berubah-ubah menurut umur orang atau golongan, tempat dan waktu. Karena itu
melestarikan keserasian bertentangan dengan hakekat hidup yang menginginkan
perubahan. Melestarikan keserasian akan berarti meniadakan kebutuhan dasar
untuk dapat memilih. Karena itu akan berarti menurunkan mutu lingkungan dan
dengan itu mutu hidup.
Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan pada hakekatnya tidak
bisa dilepaskan dari pembangunan manusia itu sendiri. Manusia merupakan subjek
sekaligus objek pembangunan. Manusia berada pada posisi sentral sahingga
pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilya tidak boleh mengabaikan dimensi
manusianya. Untuk dapat melakukan hal tersebut, diperlukan pendekatan
pembangunan yang menitikberatkan pada segi manusia. Pembangunan dilakukan untuk
meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup manusia. Di lain pihak, pembangunan
yang makin meningkat akan memberikan dampak negatif, berupa resiko pencemaran
dan perusakan lingkungan hidup, yang mengakibatkan rusaknya struktur dan fungsi
dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan. Kerusakan ini pada akhirnya
akan menjadi beban yang malah menurunkan mutu hidup manusia, sehingga apa yang
menjadi tujuan pembangunan akan sia-sia.
Terpeliharanya keberlanjutan fungsi lingkungan hidup merupakan kepentingan
manusia, sehingga menuntut tanggung jawab dan perannya untuk memelihara dan
meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Keberlanjutan
pembangunan harus memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya alam, sumber
daya manusia, serta pengembangan sumber daya buatan, dan menjadi sarana untuk
mencapai keberlanjutan pembangunan, serta menjadi jaminan bagi kesejahteraan
serta mutu hidup generasi masa kini dan generasi mendatang.
c.
Masalah Keamanan dan Ketertiban
Beberapa teror bom yang terjadi di beberapa kota di Indonesia akhir-akhir
ini, sperti di Bali, Jakarta dan lain-lain telah menimbulkan keresahan bagi
masyarakat dan mengganggu jalannya perekonomian. Selain itu, beberapa kota di
Indonesia juga mengalami penurunan kualitas kehidupan dengan banyaknya terjadi
kerusuhan yang disebabkan oleh konflik antar kelompok masyarakat, seperti di
Poso, Palu, Ambon, Banda Aceh dan sebagainya.
Permasalahan ini diperberat dengan masalah ketertiban Karena tidak
disiplinnya masyarakat. Hal ini tercermin dengan jelas antara lain dalam
disiplain berlalu lintas. Saat ini juga semakin sering terjadi demonstrasi yang
dilakukan oleh masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang
dijalankan oleh pemerintah, terutama di kota-kota besar. Hal ini dapat terjadi
karena berbagai hal seperti tidak adanya sosialisasi dari pemerintah, kurangnya
pelibatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, kurangnya pemamhaman akan
hak-hak dan tanggung jawab masyarakta dalam pembangunan dan lain sebagainaya.(
Gita Chandrika Napitupulu dalam Bunga rampai, 2005 : 9-10)